Selasa, 01 November 2011

Alasan Koperasi Sulit Berkembang si Indonesia

Alasan Koperasi Sulit Berkembang si Indonesia

 
  Pasang-surut Koperasi di Indonesia Koperasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang dan surut. Sebuah pertanyaan sederhana namun membutuhkan jawaban njelimet, terlontar dari seorang peserta. ? Mengapa jarang dijumpai ada Koperasi yang bertumbuh menjadi usaha besar yang menggurita, layaknya pelaku ekonomi lain, yakni swasta (konglomerat) dan BUMN? Mengapa gerakan ini hanya berkutat dari
persoalan yang satu ke persoalan lain, dan cenderung stagnan alias berjalan di tempat? Mengapa Koperasi sulit berkembang di tengah ?habitat? alamnya di Indonesia?? Inilah sederet pertanyaan yang perlu dijadikan bahan perenungan.Padahal, upaya pemerinta untuk ?memberdayakan? Koperasi seolah tidak pernah habis. Bahkan, bila dinilai, mungkin amat memanjakan. Berbagai paket program bantuan dari pemerintah seperti kredit program: KKop, Kredit Usaha Tani (KUT), pengalihan saham (satu persen) dari perusahaan besar ke Koperasi, skim program KUK dari bank dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial dari perbankan, juga ?paket program? dari Permodalan Nasional Madani (PNM), terus mengalir untuk memberdayakan gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan program, ada institusi khusus yangmenangani di luar Dekopin, yaitu Menteri Negara Urusan Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil Menengah), yang seharusnya memacu gerakan ini untuk terus maju. Namun,
kenyataannya, Koperasi masih saja melekat dengan stigma ekonomi marjinal, pelaku
bisnis yang perlu dikasihani, pelaku bisnis ?pupuk bawang?, pelaku bisnis tak
profesional.Masalah tersebut tidak bisa dilepaskan dari substansi Koperasi yang
berhubungan dengan semangat.


Dalam konteks ini adalah semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Jadi, bila koperasi dianggap kecil, tidak berperan, dan merupakan kumpulan serba lemah, itu terjadi karena adanya pola pikir yang menciptakan demikian.Singkatnya, Koperasi adalah untuk yang kecil-kecil, sementara yang menengah bahkan besar, untuk kalangan swasta dan BUMN. Di sinilah terjadinya penciptaan paradigma yang salah. Hal ini mungkin terjadi akibat gerakan Koperasi terlalu sarat berbagai embel-embel, sehingga ia seperti orang kerdil yang menggendong sekarung beras di pundaknya. Koperasi adalah ?badan usaha?, juga ?perkumpulan orang? Termasuk yang ?berwatak sosial?. Definisi yang melekat jadi memberatkan, yakni ?organisasi sosial yang berbisnis? atau ?lembaga ekonomi yang mengemban fungsi sosial.? Berbagai istilah apa pun yang melekat, sama saja, semua memberatkan gerakan Koperasi dalam menjalankan visi dan misi bisnisnya. Mengapa tidak disebut badan usaha misalnya, sama dengan pelaku ekonomi-bisnis lainnya, yakni kalangan swasta dan BUMN, sehingga ketiganya memiliki kedudukan dan potensi sejajar. Padahal, persaingan yang terjadi di lapangan demikian ketat, tak hanya sekadar pembelian embel-embel. hanya kompetisi ketat semacam itulah yang membuat mereka bisa menjadi pengusaha besar yang tangguh dan profesional.
Para pemain ini akan disaring secara alami, mana yang efisien dalam menjalankan bisnis dan mereka yang akan tetap eksis.Koperasi yang selama ini diidentikkan dengan hal-hal yang kecil, pinggiran dan akhirnya menyebabkan fungsinya tidak berjalan optimal. Memang pertumbuhan Koperasi cukup fantastis, di mana di akhir tahun 1999 hanya berjumlah 52.000-an, maka di akhir tahun 2000 sudah mencapai hampir 90.000-an dan di tahun 2007 ini terdapat koperasi di Indonesia. Namun, dari jumlah yang demikian besar itu, kontribusinya bagi pertumbuhan mesin ekonomi belum terlalu signifikan. Koperasi masih cenderung menempati ekonomi pinggiran (pemasok dan produksi), lebih dari itu, sudah dikuasai swasta dan BUMN. Karena itu,tidak aneh bila kontribusi Koperasi terhadap GDP (gross domestic product) baru sekitar satu sampai dua persen, itu adalah akibat frame of mind yangsalah.
Di Indonesia, beberapa Koperasi sebenarnya sudah bisa dikatakan memiliki unit usaha besar danberagam serta tumbuh menjadi raksasa bisnis berskala besar. Beberapa Koperasi telah
tumbuh menjadi konglomerat ekonomi Indonesia, yang tentunya tidak kalah jika
dibandingkan dengan perusahaan swasta atau BUMN yang sudah menggurita, namun
kini banyak yang sakit. Omzet mereka mencapai milyaran rupiah setiap bulan. Konglomerat yang dimaksud di sini memiliki pengertian: Koperasi yang bersangkutan sudah merambah dan menangani berbagai bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan merangsek ke berbagai bidang usaha-bisnis komersial.


Pernyataan Presiden tentang Koperasi di Indonesia:

Pekan lalu, di acara perayaan ulang tahun koperasi yang ke-60, Presiden mengatakan bahwa tidak ada tempat bagi sistem perekonomian berbasis kapitalisme dan neoliberalisme di Indonesia. Alasannya, kata Presiden, kedua ideologi tersebut tidak mampu menjamin kemakmuran bagi seluruh rakyat. Karena itu, Indonesia memilih ideologi terbuka yang berkeadilan sosial, dan koperasi merupakan wadah yang paling ideal.
Ketidakmakmuran yang dikemukakan Pre-siden di hadapan 7.000 anggota dan pengurus koperasi dari seluruh Indonesia adalah masalah ekonomi nasional, yang tentu tak ada sangkut-pautnya dengan paham atau sistem ekonomi. Oleh sebab itu, pernyataan Presiden itu harus kita artikan sebagai sikap keberpihakan pemerintah terhadap koperasi, yang sejak krisis ekonomi 1998 memang kurang mendapat perhatian.
Adapun soal ketidakmakmuran rakyat yang semakin memprihatinkan di negara ini, tidak mudah kita kaitkan dengan koperasi. Kalau mau realistis, harus diakui bahwa koperasi-koperasi kita masih jauh dari sehat dan belum siap memikul beban yang amat berat. Bahkan koperasi yang ada pun, ditaksir berjumlah 138.000, sekitar 30 persen di antaranya ”mati”. Jadi, langkah awal adalah menyehatkan koperasi yang ada. Jika upaya ini berhasil, maka langkah awal meningkatkan kesejahteraan rakyat sudah tercapai.

sumber:
http://yanifachturahman.blogspot.com
http://www.majalahtrust.com/indikator/teras/1417.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar